Minggu, 10 Maret 2013

every person born unique in their way

"every person born unique"

kurang lebih begitulah kata-kata yang pernah membekas di ingatan saya. tiap orang dilahirkan dengan keunikannya masing-masing.

dalam genetika, saya pernah belajar bahwa fenotip=genotip+lingkungan. artinya hasil kita sekarang adalah bawaan dari keturunan (genotip) dan bagaimana kita menanggapi kondisi di lingkungan kita. saya percaya bahwa genotip tiap-tiap kita berbeda, karena kita mewarisi separuh dari bapak dan separuh dari ibu sehingga kitapun tidak benar-benar sama dengan kedua orang tua kita. pun, kita tidak sama dengan saudara kandung kita karena genotip juga dilambangkan dengan dominan dan resesif. bisa jadi kita memegang genotip dominan dan saudara kita yang resesif, atau hanya beberapa genotip yang dominan.

faktor lingkungan adalah faktor dari luar yang akan mempengaruhi kita, tiap-tiap kita akan terpapar kondisi lingkungan yang berbeda. sepertinya tidak ada yang sama persis. karena orang tua kita berbeda, bahkan dari orang tua yang sama juga akan terpapar kondisi lingkungan yang berbeda. antara saya dan saudara saya bersekolah di tempat yang berbeda, sangat cukup menunjukkan bahwa lingkungan yang kami jalani berbeda. faktor lingkungan yang berbeda dengan genotip yang berbeda jelas akan menghasilkan tanggapan yang berbeda, yang menghasilkan fenotip kita berbeda dengan yang lain.

bahkan, dalam kajian populasi, kita mengenal adanya perbedaan. jenis yang berbeda, komunitas yang berbeda, populasi yang berbeda. bahkan, dalam satu jenis pun masih dikenal perbedaan antar individu, hingga ada sebutan varietas, anak jenis, kultivar, atau apapun itu.

so, saya sangat percaya bahwa kita adalah unik. tidak ada yang menyamai kita.

karena masing-masing dari kita unik, makanya kadang saya tidak suka dengan yang namanya "labelling" terutama dari orang lain ke seseorang. ya kalo labelling-nya bagus dan baik, lha kalo kurang baik? dan cenderung menyamaratakan?

labelling itu adalah proses menyebut seseorang dengan sifat tertentu, misal sering dipanggil bodoh, atau lemot, atau cantik atau manis.
tekesan simpel atau bahkan hanya panggilan biasa, namun sejatinya kita tengah menanamkan ide di alam bawah sadarnya bahwa dia adalah yang kita panggil.

saya pernah mendengar suatu study, ada sekolah yang mengelompokkan kelasnya menjadi tiga golongan. kelas anak-anak pintar, kelas anak-anak bodoh, dan kelas anak-anak rerata.
suatu ketika, diambil sampel separuh anak yang harusnya masuk kelas pintar dimasukkan dalam kelas bodoh. dan separuh anak yang harusnya masuk anak kelas bodoh diletakkan di kelas pintar. setiap hari, guru yang mengajar akan memuji si anak bahwa mereka adalah orang-orang pintar karenannya mereka masuk di kelas tersebut dan sebaliknya di kelas bodoh mereka akan diomelin dan sering dikatai bahwa mereka berada di level bawah karenanya merka tergabung di kelas ini. secara berkala mereka dievaluasi.

apa yang terjadi?
anak-anak yang harusnya di kelas bodoh dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan prestasi dan kemampuan olah pikirnya. dan bagaiamana dengan yang di kelas anak bodoh? pada awalnya mereka tetap cemerlang, namun seiring waktu mereka menunjukkan indikasi kesulitan-kesulitan mengolah permasalahan.
telaah selanjutnya menunjukkan penerimaan secara tak sadar dari siswa tersebut bahwa mereka mengakui mereka bodoh dan kerap bingung terhadap masalah yang dihadapi. sementara yang ada di kelas pintar menunjukkan bahwa mereka terkejut mendapati bahwa dirinya ternyata pintar, sehingga mereka lebih tertarik untuk mencoba menyelesaikan masalah yang dihadapi hingga menemukan solusinya.
can you see the point?

labelling bisa sangat berbahaya atau sangat menguntungkan.
apa hubungannya dengan keunikan kita masing-masing?
labelling, bisa menjadi jalan yang sangat cepat untuk menghomogenkan pola pikir. ketika pola pikir kita sudah sepaham, maka akan sangat mudah untuk melakukan pembentukan opini. kita akan terbiasa melihat suatu hal dari satu sudut pandang yang sama. kita akan kesulitan untuk mencoba melihat hal dari sudut pandang yang berbeda. dan menghilangkan keunikan kita masing-masing.

salah satu contoh proses labelling adalah kepribadian berdasarkan "...."
titik-titik bisa berarti zodiac, bisa golongan darah, bisa shio, bisa jenis kelamin, bisa asal daerah, pokoknya macem-macem.
untuk shio dan zodiac, saya tidak bisa berbicara banyak karena saya sudah lama melupakan tentang kedua hal itu.
kepribadian berdasar golongan darah mungkin ada benarnya, karena relatif logis buat saya. walaupun logis, saya tidak dengan serta merta menerima penggolongan kepribadian berdasar golongan darah. saya orang bebas, dan saya berhak menentukan pola pikir saya sendiri.

ketika ada yang bilang, ih si AB pasti geje, si B pasti lemot, dan apapun itu saya pikir tidak sepantasnya hal itu dilakukan berulang dan berulang. karena yang telah terjadi adalah labelling. si B akan benar-benar menjadi lemot kalo tiap hari dikatai bahwa dia lemot, bisa jadi sesungguhnya dia cemerlang, dan dia memikirkan sesuatu sebelum menjawabnya. namun,dengan label lemot yang disematkan tiap hari dapat menjadikan dia benar-benar kehilangan fokus dan sulit menangkap poin pembicaraan.

tiap ada yang mengatakan pada saya "kamu O sih makanya begini-begitu" dalam hati saya berkata ke diri saya, kalau begitu saya akan mempelajari sifat dari golongan darah yang lain, dan bila baik akan saya terapkan. bukan bermaksud untuk keras kepala, tapi saya hanya ingin agar saya tetap unik dengan cara saya.

tiap-tiap kita adalah unik, dan mengapa kita tidak mempertahankan keunikan kita masing-masing?
diri kita adalah satu-satunya di dunia dan tak akan ada yang benar-benar menyamai, be proud of yourself.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar